Sunday 19 July 2009

Ngomong-ngomong soal tua, saya jadi teringat pada perkataan salah seorang teman saya. Teman saya yang biasanya selalu konyol itu tiba-tiba berkata, “Ran, gw takut tua..” . Ketika saya bertanya kenapa, dia menjawab dengan jawaban yang tidak bisa saya lupakan, “Soalnya ntar kalo gw dah tua trus gw jalan ngelewatin BBC (Jembatan Babarsari, tempat kami, anak-anak mapala, biasa latihan, red.) pasti gw nangis. Kalo ntar lo dah nenek-nenek trus lo ngelewatin BBC, pasti ntar lo nangis, Ran..”



Saya terdiam, bingung harus berkata apa karena tidak tahu apa yang harus saya katakan. Namun dalam hati saya berkata, “Mmm..iya juga ya, kawan! Bener lo! Kalo ntar gw udah tua (kl msh hidup, insya Allah) pasti gw nangis kalo lewat situ, apalagi gw orangnya cengeng. Hmm..”

Sejak saat itu saya terus berpikir berhari-hari, “Apa iya saya takut tua?”
Sejak saat itu saya terus bertanya-tanya, “Kenapa harus takut tua?”
Sejak saat itu saya terus berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan :
“Kenapa kita semua harus menjadi tua?”
“Kenapa kita tidak begini-begini saja selamanya?”
“Kenapa harus ada waktu dan kenapa waktu harus berjalan?”
“Kenapa suatu hal yang indah pada akhirnya harus menjadi kenangan? Kenapa tidak terus-terusan terjadi saja?”

Sampai akhirnya saya menemukan jawabannya (tepatnya jawaban versi saya sendiri)

Waktu = Harta
Tidak ada waktu = Kita tidak memiliki kenangan
Tidak ada waktu = Kita tidak hidup
Tidak ada waktu = Kita tidak akan pernah dewasa

Semua hal yang menyenangkan menjadi kenangan? It’s okay. Kita maju buat mencari hal-hal menyenangkan lain tanpa meninggalkan kenangan lalu kita. Bukankah itu malah lebih bagus? Bila waktu tidak pernah berjalan, nanti saya jalan di tempat saja dong? Nanti saya akan sama-sama saja donk? Lantas untuk apa saya diciptakan?

Ibarat di pantai, misalnya kita jalan-jalan di pinggir pantai pasti ada jejak kakinya kan? Mungkin jejak itu akan terhapus oleh ombak, akan tetapi tidak bisa diingkari bahwa kaki kita pernah mampir di situ. Selain itu, pasti kita juga tidak akan terus-terusan berdiri di pasir itu selamanya. Menyenangkan sekali memang menikmati ombak, tetapi bila kita terus di situ, oke, kita bisa terus merasakan menyenangkannya ombak, namun kita jadi tidak bisa merasakan tenangnya gunung, kita tidak tahu indahnya gua, susah dan menantangnya climbing (biarpun sampai sekarang masih tetap tidak sukses), seru dan deg-degannya rafting, dan sebagainya. Iya kan?

Selain itu, kenangan = harapan.
Bila di masa lalu kita pernah mengalami saat-saat yang menyenangkan, kita tentu akan mengingatnya dengan pikiran yang positif dan mungkin secara tidak sadar berharap agar saat-saat itu masih ada hingga sekarang. Namun bila ternyata kenyataannya berlawanan, anggaplah semuanya sudah bertolakbelakang dengan yang lalu, kita akan merasa kecewa dan masih akan berharap agar semuanya kembali seperti semula. Yah, paling tidak kita masih memiliki kenangan saat semuanya masih baik-baik saja. Paling tidak kita masih memiliki harapan agar suatu saat keadaan kembali seperti semula. Oleh karena itu, maka kenangan = harapan.

Dan terakhir, sesuatu membuat saya merasa mantap adalah kata-kata dari salah satu teman saya yang lain. Dia bilang, “Perpisahan adalah awal dari pertemuan baru.”

Untuk kedua kalinya, saya pun sukses terdiam lagi.



Saya berpikir lagi dan akhirnya mengerti juga. Iya betul!!! Akhirnyaaa!! Betul sekali! Kenapa saya harus takut? Hei, saya tidak harus selalu hidup di ‘zona aman’ saya saja kan? Saya tidak akan pernah maju kalau begitu. Apalagi pasti nantinya juga akan muncul hal-hal menyenangkan lain yang nantinya juga akan menjadi kenangan indah lagi. Sampai pada akhirnya bila kelak saya sudah tua, saya tahu bahwa saya tidak menyia-nyiakan hidup saya dan saya tahu bahwa saya sudah menorehkan sesuatu di dunia sebagai tanda kalau saya pernah ada.

No comments:

Post a Comment